Senin, 10 Juni 2013

Kemenangan Gambang Keromong

Kemenangan Gambang Keromong

Penonton tercekat lalu menahan napas. Kesegaran alunan okestra gambang keromong asli Betawi terpotong adegan tawuran pelajar. Jayadi, tokoh muda pelestari gambang keromong yang menjadi pujaan penonton, tiba-tiba mati jadi korban tawuran.
            Bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-486 Jakarta., Teater Abnon mementaskan lakon Soekma Djaja di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), 5-6 Juni. Sandiwara Betawi ini memotret kehidupan keluarga musisi gambang keromong Maman Djaja.
            Maman yang diperanakan Abang Jakarta Utara 1987, Doddy Eriandoko, sekuat tenaga melestarikan gambang keromong. Untuk menghidupi kelompok gambang keromong Sokma Djaja, Maman terpaksa menggiring anak buahnya mengamen di jalanan.
            Sama persis seperti seperti kondisi grup-grup gambang keromong yang saat ini masih tersisa di Jakarta, Soekma Djaja lantas bertahan hidup dari mengamen. Mereka harus bersaing dengan hiburan modern, sperti organ tunggal untuk mendapat tawaran tampil di ajang kawinan atau sunatan.
            Anak bungsu Maman, Jayadi, yang diperankan Abang Jakarta Selatan 2012, Luthfi Ardiansyah, menjadi tulang punggung memimpin Soekma Djaja. Sementara kakaknya, Jaelani, yang diperankan Abang Jakarta Barat 2012, Bob Trian Tanamas, justru tidak sudi melestarikan gambang kromong.
            Menyanyikan lagu Betawi, “Kicir-kicir”, berlanjut dengan lagu “jali-jali” grup Soekma Djaja muncul dari belakang deretan kursi penonton. Sambil memainkan musik gambang kromo, tim kecil ini juga membawa sepasang boneka Ondel-ondel. Untuk menambah daya tarik rombongan Soekma Djaja mewarnai pertunjukkan dengan tari Cokek. Gambang kromong biasanya mengiringi lagu yang bersaut-sautan antara pria dan wanita berisi humor atau sindiran.
            Setelah lelah berkeliling lima pemuda dan satu Pemudi Betawi yang tergabung dalam Soekma Djaja akhirnya pulang. Sambil menyantap nasi berkat Kenduri tujuh bulaanan dari tetangga, Jayadi dan kawan-kawannya menghitung hasil mengamen.
            Perang mulutpun terjadi ketika si sulung pulang Jaylani menolak makan sayur kembang pepaya yang diberikan si Nyak. Jay mengaku malu karena tidak dapat menyamain gaya hidup teman kampusnya.
            Makin langka
            Seni gambang kromo semakin langka. Di ibukota hanya tersisa dua grup gambang kromong asli, yaitu jali putra, dan sinar pusaka.
Penata musk dari Altajaru Ensamble, Iman Firmansyah, meneritakan betapa susahnya kehidupan seniman gambang kromong. Grup gambang kromong juga harus menyayikan musik lain seperti pop, atau dangdut. Altajaru Ensamble yang terdiri dari mahasiswa IKJ mencoba mencoba meminkan gambang kromong dengan gaya baru,dengan menambahkan alat musik seperti drum.
            Dari sejarahnya, orkes gambang kromong terkait erat dengan budaya cina peranakan. Gambang kromong populer pada tahun 1930-an. Alat musik gambang kromong terdiri dari gambang kayu dang kromongyang terdiri dari bonang lima nada, dan dilengkapi dengan alat musik cina yaitu dua alat gesek ohyan dan gihyanyang berbentuk seperti rebab dengan resonator dari tempurung kelapa.

            KARENA CINTA
Setelah kematian Jayadi, barulah menumbuhkan kesadaran Jay untuk tetap  melestarikan gambang kromong, dengan dibantu teman-teman kuliahnya Jay dibantu untuk tetep melestarikan gambang kromong. Dalam pementasan Teater Abnon segera berubah ceria setalah diiringi lagu laju-laju, dan 12 none jakarta menari dalam balutan baju tradisional betawi. Kesenian khas bela diri betawi juga dipertontonkan, semua ini dengan menggunakan iringan gambang kromong. Karya Soekma Djaja ini sekaligus menjadi ajang pembuka Anniversay Festival.
            Jika bukan karena cinta, produser Soekma Djaja Maudy Kousnaedi sudahg menyerah dalam melestarikan kebudayaan betawi ini, agar masyarakat menyadari keberadaan kesenian yang hampir terlupakan ini.
            Soekma berarti hati,  sedangkan  Djaja berarti kemenangan, yang berarti kemenangan hati. Itulah yang diharapkan oleh seniman gambang kromong ditengah derasnya gerusan zaman.  
 sumber: kompas, minggu, 9 Juni 2013