Senin, 25 November 2013

ETIKA UTILITARIANISME DALAM BISNIS

ETIKA UTILITARIANISME DALAM BISNIS 

DEFINISI UTILITARIANISME

Utilitarianisme berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.

Utilitarianisme adalah paham dalam filsafat moral yang menekankan manfaat atau kegunaan dalam menilai suatu tindakan sebagai prinsip moral yang paling dasar, untuk menentukan bahwa suatu perilaku baik jika bisa memberikan manfaat kepada sebagian besar konsumen atau masyarakat.

Menurut paham Utilitarianisme bisnis adalah etis, apabila kegiatan yang dilakukannya dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya pada konsumen dan masyarakat. Jadi kebijaksanaan atau tindakan bisnis yang baik adalah kebijakan yang menghasilkan berbagai hal yang baik, bukan sebaliknya malah memberikan kerugian. Polusi pabrik sangat merugikan kesehatan masyarakat sekitarnya

Nilai positif Utilitarianisme terletak pada sisi rasionalnya dan universalnya. Rasionalnya adalah kepentingan orang banyak lebih berharga daripada kepentingan individual. secara universal semua pebisnis dunia saat ini berlomba-lomba mensejahterakan masyarakat dunia, selain membuat diri mereka menjadi sejahtera. Berbisnis untuk kepentingan individu dan di saat yang bersamaan mensejahterakan masyarakat luas adalah pekerjaan profesional sangat mulia. Dalam teori sumber daya alam dikenal istilah Backwash Effect, yaitu di mana pemanfaatan sumber daya alam yang terus menerus akan semakin merusak kualitas sumber daya alam itu sendiri, sehingga diperlukan adanya upaya pelastarian alam supaya sumber daya alam yang terkuras tidak habis ditelan zaman.

Di dalam analisa pengeluaran dan keuntungan perusahaan memusatkan bisnisnya untuk memperoleh keuntungan daripada kerugian. Proses bisnis diupayakan untuk selalu memperoleh profit daripada kerugian. Keuntungan dan kerugian tidak hanya mengenai finansial, tapi juga aspek-aspek moral seperti halnya mempertimbangkan hak dan kepentingan konsumen dalam bisnis. Dalam dunia bisnis dikenal corporate social responsibility, atau tanggung jawab sosial perusahaan. Suatu pemikiran ini sejalan dengan konsep Utilitarianisme, karena setiap perusahaan mempunyai tanggaung jawab dalam mengembangkan dan menaikan taraf hidup masyarakat secara umum, karena bagaimanapun juga setiap perusahaan yang berjalan pasti menggunakan banyak sumber daya manusia dan alam, dan menghabiskan daya guna sumber daya tersebut.

Kesulitan dalam penerapan Utilitarianisme yang mengutamakan kepentingan masyarakat luas merupakan sebuah konsep bernilai tinggi, sehingga dalam praktek bisnis sesungguhnya dapat menimbulkan kesulitan bagi pelaku bisnis. misalnya dalam segi finansial perusahaan dalam menerapkan konsep Utilitarianisme tidak terlalu banyak mendapat segi manfaat dalam segi keuangan, manfaat paling besar adalah di dalam kelancaran menjalankan bisnis, karena sudah mendapat ‘izin’ dari masyrakat sekitar, dan mendapat citra positif di masyarakat umum. Namun dari segi finansial, Utilitarianisme membantu (bukan menambah) peningkatan pendapat perusahaan.

CIRI-CIRI UTILITARIANISME

1.      Kritis
Utilitarianime berpandangan bahwa kita tidak bisa begitu saja menerima norma moral yang ada. Utilitarianisme mempertanyakan norma itu. Sebagai contoh, seks sebelum nikah. Bagi penganut utilitarianisme, seks sebelum nikah itu belum tentu buruk. Harus dianalisis dulu apakah kegunaan seks pra nikah itu. Apakah akibat baik yang ditimbulkan seks pra nikah itu lebih besar daripada akibat buruknya. Kalau akibat baiknya lebih besar maka seks pra nikah itu bukan saja tidak dapat dilarang tetapi wajib dilakukan. Kalau akibat buruk seks pra nikah itu lebih besar maka seks pra nikah itu wajib dilarang.
2.      Rasional
Utilitarianisme tidak menerima saja norma moral yang ada. Ia mempertanyakan dan ini mengandaikan peran rasio. Utilitarianisme ini bersifat rasional karena ia mempertanyakan suatu tindkan apakah berguna atau tidak. Dalam kasus seks pra nikah tadi, utilitarianisme mempertanyakan sebab-sebab seks pra nikah dilarang.
3.      Teleologis
Utilitarianisme itu bersifat teleologis karena suatu tindakan itu dipandang baik dari tujuannya. Artinya suatu tindakan itu mempunyai tujuan dalam dirinya sehingga dapat dipandang baik.
4.      Universalis
Semboyan yang terkenal dari utilitarianisme adalah sesuatu itu dianggap baik kalau dia memberi kegunaaan yang besar bagi banyak orang. Hal ini sering dipakai dalam bidang politik dan negara. Contoh, di kota A akan dibangun jalan tol karena itu beberapa rumah akan kena gusur. Dengan alasan demi kepentingan yang lebih besar dan kepentingan orang banyak, pemerintah akan meminta mereka yang rumahnya kena gusur agar pindah. Tindakan menggusur ini dianggap benar karena penggusuran itu dilakukan demi kepentingan yang lebih besar dibandingka kepentingan mereka yang rumahnya digusur.

DUA MACAM TEORI UTILITARIANISME

1.      Utilitarianisme Perbuatan (Act Utilitarianisme)
Suatu perbuatan itu dianggap baik kalau perbuatan itu membawa akibat yang menguntungkan.
2.      Utilitarianisme Aturan (Rule Utilitarianisme)
Teori ini merupakan perbaikan dari utilitarianisme perbuatan. Sesuatu itu dipandang baik kalau ia berguna dan tidak melanggar peraturan yang ada.

Perusahaan yang Telah Menerapkan Utilitarianisme atau CSR

Sejak didirikan pada 5 Desember 1933Unilever Indonesia telah tumbuh menjadi salah satu perusahaan terdepan untuk produk Home and Personal Care serta Foods & Ice Cream di Indonesia. Rangkaian Produk Unilever Indonesia mencangkup brand-brand ternama yang disukai di dunia seperti Pepsodent, Lux, Lifebuoy, Dove, Sunsilk, Clear, Rexona, Vaseline, Rinso, Molto, Sunlight, Walls, Blue Band, Royco, Bango, dan lain-lain.

Selama ini, tujuan perusahaan kami tetap sama, dimana kami bekerja untuk menciptakan masa depan yang lebih baik setiap hari; membuat pelanggan merasa nyaman, berpenampilan baik dan lebih menikmati kehidupan melalui brand dan jasa yang memberikan manfaat untuk mereka maupun orang lain; menginspirasi masyarakat untuk melakukan tindakan kecil setiap harinya yang bila digabungkan akan membuat perubahan besar bagi dunia; dan senantiasa mengembangkan cara baru dalam berbisnis yang memungkinkan kami untuk tumbuh sekaligus mengurangi dampak lingkungan.

Saham perseroan pertamakali ditawarkan kepada masyarakat pada tahun 1981 dan tercatat di Bursa Efek Indonesia seja 11 Januari 1982. Pada akhir tahun 2011, saham perseroan menempati peringkat keenam kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia. Cleaning productPerseroan memiliki dua anak perusahaan : PT Anugrah Lever (dalam likuidasi), kepemilikan Perseroan sebesar 100% (sebelumnya adalah perusahaan patungan untuk pemasaran kecap) yang telah konsolidasi dan PT Technopia Lever, kepemilikan Perseroan sebesar 51%, bergerak di bidang distribusi ekspor, dan impor produk dengan merek Domestos Nomos.

Bagi Unilever, sumber daya manusia adalah pusat dari seluruh aktivitas perseroan. Kami memberikan prioritas pada mereka dalam pengembangan profesionalisme, keseimbangan kehidupan, dan kemampuan mereka untuk berkontribusi pada perusahaan. Terdapat lebih dari 6000 karyawan tersebar di seluruh nutrisi.
Perseroan mengelola dan mengembangkan bisnis perseroan secara bertanggung jawab dan berkesinambungan. Nilai-nilai dan standar yang Perseroan terapkan terangkum dalam Prinsip Bisnis Kami. Perseroan juga membagi standar dan nilai-nilai tersebut dengan mitra usaha termasuk para pemasok dan distributor kami. Perseroan memiliki enam pabrik di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang, Bekasi, dan dua pabrik di Kawasan Industri Rungkut, Surabaya, Jawa Timur, dengan kantor pusat di Jakarta. Produk-produk Perseroan berjumlah sekitar 43 brand utama dan 1,000 SKU, dipasarkan melalui jaringan yang melibatkan sekitar 500 distributor independen yang menjangkau ratusan ribu toko yang tersebar di seluruh Indoneisa. Produk-produk tersebut didistribusikan melalui pusat distribusi milik sendiri, gudang tambahan, depot dan fasilitas distribusi lainnya.

Sebagai perusahaan yang mempunyai tanggung jawab sosial, Unilever Indonesia menjalankan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang luas. Keempat pilar program kami adalah Lingkungan, Nutrisi, Higiene dan Pertanian Berkelanjutan. Program CSR termasuk antara lain kampanye Cuci Tangan dengan Sabun (Lifebuoy), program Edukasi kesehatan Gigi dan Mulut (Pepsodent), program Pelestarian Makanan Tradisional (Bango) serta program Memerangi Kelaparan untuk membantu anak Indonesia yang kekurangan gizi (Blue Band).

Unilever Indonesia Memiliki Visi :

Empat pilar utama dari visi kami menggambarkan arah jangka panjang dari perusahaan  kemana tujuan kami dan bagaimana kami menuju ke arah sana.
a)      Kami bekerja untuk membangun masa depan yang lebih baik setiap hari
b)      Kami membantu orang-orang merasa nyaman, berpenampilan baik dan lebih menikmati kehidupan dengan brand dan pelayanan yang baik bagi mereka dan bagi orang lain
c)      Kami menjadi sumber inspirasi orang-orang untuk melakukan hal kecil setiap hari yang dapat membuat perbedaan besar bagi dunia
d)     Kami akan mengembangkan cara baru dalam melakukan bisnis dengan tujuan membesarkan perusahaan kami dua kali lipat sambil mengurangi dampak lingkungan

Kami selalu percaya akan kekuatan brand kami dalam meningkatkan kualitas kehidupan orang-orang dan dalam melakukan hal yang benar. Semakin bertumbuhnya bisnis kami, meningkat pula tanggung jawab kami. Kami mengenali tantangan global seperti perubahan iklim yang menjadi kepedulian kita bersama. Mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari tindakan kami selalu menyatu dalam nilai-nilai kami dan merupakan bagian fundamental mengenai siapa diri kami.

Sumber :

http://www.unilever.co.id/id/aboutus/introductiontounilever/


Selasa, 05 November 2013

KEJAHATAN KORPORASI DI HUTAN

Dibebaskannya Adelin Lis bagi kita yang selama ini mengamati dan pernah melakukan studi mengenai pencurian kayu, sebenarnya dalam kontek tradisi pengadilan pencuri kayu, Adelin Lis ini hanya “karikatur” yang muncul sekarang. Sementara selama ini banyak pencuri kayu yang dibebaskan juga.
Demikian disampaikan oleh Direktur Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI), Ir. S. Indro Tjahyono, dalam suatu dialog bertema “Hutan Kau Babat, Kau Ku Bebaskan”, yang diadakan di Mario’s Place Menteng Huis, pada Sabtu (10/11).
Menurutnya, makna karikatur ini menunjukkan bahwa pencuri-pencuri kayu ini mempunyai kekebalan hukum (impunity) untuk dituntut. Ini karena hukum yang ada tidak berusaha untuk menjaring pencuri-pencuri kayu ini sehingga bisa dituntut dan dijebloskan ke penjara.
"Ada sesuatu yang saya katakan bahwa inilah “karikatur” dari satu kejahatan korporasi (corporate crime). Jadi mereka mengikutkan juga elemen politik (orang-orang politik), elemen kekuatan senjata (TNI – Polri), elemen lembaga peradilan. Jadi ada mafia peradilan yang sebenarnya bersekongkol untuk mempertahankan pencurian-pencurian kayu, karena dia memang instrumen dari pencuri kayu itu sendiri," ujarnya.
Ia kemudian memberikan contoh kasus pencurian kayu jati di Jawa seperti yang terjadi di Blora, Blitar, atau di Caruban yang menunjukkan bahwa mafia pencuri kayu jati itu bahkan punya jaringan sampai pengadilan. Jadi promosi hakim, promosi jaksa di pengadilan negeri itu dikuasai mereka. Sehingga jaksa yang berusaha menuntut berat pencuri kayu itu bisa dipindah.
Dalam kaitannya dengan kasus bebasnya Adelin Lis ini, Tjahyono ingin membuktikan pernyataannya bahwa memang mafia peradilan ini lebih memihak pencuri kayu. Di antaranya begitu Adelin Lis dibebaskan, hakim yang membebaskan Adelin Lis langsung naik pangkat.
"Bahkan kenaikan pangkat itu kelihatannya merupakan rekayasa birokrasi, karena selain dinaikkan pangkatnya, salah satu hakim juga langsung dipindahkan ke Bengkulu. Ini dilakukan untuk membuat hakimnya jadi buyar," katanya.
Dengan demikian menurutnya, pengadilan sudah dikuasai oleh pencuri kayu itu, karena mereka mesti bagi-bagi ke semua. Begitu pun banyak pejabat di sana yang ditentukan oleh Adelin Lis.
Ia juga menjelaskan bahwa berdasarkan studi yang dilakukan oleh lembaganya mengenai kasus-kasus pencurian kayu, yang masuk ke pengadilan hingga ke penuntutan itu hanya 0,1 persen. Kalau penyidikan memang banyak, sampai 25 persen yang masuk, tapi ketika penuntutan hanya ada 0,1 persen dan hasilnya bebas.
"Inikan quo-vadis dari lembaga peradilan kita, dan saya akan kembali bahwa masalahnya bukan dihukumnya itu sendiri. Masalahnya adalah hukum sebagai instrumen untuk mengatur sesuatu, tetapi mengatur apa," tegasnya setengah bertanya.
Dari sinilah dapat dijumpai ada tidaknya faktor kemauan politik (political will). Baik dari pemerintah atau masyarakat, untuk memberantas pencuri kayu dan menciptakan hukum yang memang bisa menangkal berbagai pencurian kayu.
Hukum di negeri ini sedang dicoba diciptakan untuk membiarkan pencuri kayu antara lain dengan adanya dikotomi antara sanksi administratif dan sanksi hukum. Padahal sanksi administratif itu mempunyai keterbatasan, yakni ketika tindakan dari anggota lembaga apa pun telah membahayakan publik, maka ini adalah urusan hukum pidana. Ini harus ada batasannya.
"Kalau itu didiamkan dan DPR tidak mencoba memberi perbedaan yang jelas antara sanksi administrasi dan sanksi hukum, yang terjadi ya seperti sekarang ini," katanya.
Sementara itu Departemen Kehutanan merasa bahwa semua pelanggaran HPH itu adalah sanksi administratif, dia bisa didenda, padahal bisnis denda di Departemen Kehutanan itu sudah sangat jorok. Bahkan diindikasikan sebagai alat memeras secara diam-diam pada para pencuri kayu.
Prolog
            Kejahatan yang terjadi pada kasus sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah suatu kejahatan yang tidak berhenti ketika pelaku berhasil di jebloskan ke dalam penjara atau memberikan ganti kerugian. Kejahatan ini akan menimbulkan dampak yang akumulatif dan cenderung melahirkan suatu bentuk kejahatan baru. Destructive logging/perusakan hutan adalah contoh konkret yang selanjutnya dapat melahirkan rentetan bencana berupa banjir, longsor, kekeringan, gagal panen, gagal tanam dan kebakaran hutan. Bahkan dampak dari destructive logging dapat menimbulkan hilangnya nyawa dan harta benda bagi mereka yang tertimpa bencana ikutan tersebut.
            Berikutnya ketidak sigapan negara dalam menanggulangi bencana akan melahirkan pelanggaran terhadap hak-hak penggungsi (akibat tersingkir dari tempat hidupnya) yang di nyatakan secara tegas dalam berbagai perjanjian atau kesepakatan internasional termasuk covenant on economic social and political right. Inilah yang WALHI sebutkan sebagai kejahatan yang dapat melahirkan akumulasi dampak dan kejahatan lainnya. Lingkup kejahatan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup sangatlah luas. Antara lain terdapat pada sektor kehutanan, perikanan dan kelautan, pertambangan mineral dan sumber-sumber energi fosil serta sumberdaya air. Dimana sector tersebut adalah sektor yang paling sering dikelola secara destructive. Melihat polanya maka dalam pandangan diatas, kejahatan ini bukanlah suatu peristiwa yang berdiri sendiri. Kesalahan dalam pengurusan yang telah berlangsung lama menjadi salah faktor utama pendorong terjadinya kejahatan tersebut termasuk regulasi yang mengaturnya. Belum lagi lemahnya penegakan hukum yang berimplikasi pada semakin tingginya tingkat kejahatan tersebut. Parahnya, (oknum) aparat penegak hukum juga menjadi bagian dari praktek/modus bagaimana kejahatan ini berlangsung dan dilakukan terus menerus.
            Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitasaktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”. Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law“ (melakukan suatu korporasi, atau karyawan yang bertindak atas nama sebuah perusahaan, yang dilarang dan dikenai sanksi hukum). Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosioekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hokum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons“) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Di Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi pasal 46 yang mengadopsi doktrin vicarious liability. Meskipun tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu :
1.      Dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004 tentang Jalan.
2.      Dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat
3.      UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31/2004 tentang Perikanan
4.      Kemudian kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
            kejahatan korporasi adalah merupakan pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, yang tentunya berkaitan dengan hubungan keperdataan, artinya hubungan yang menimbulkan tindak pidana tersebut adalah perbuatan perdata.
Sanksi dapat dijatuhkan kepada perorangan yaitu setiap orang yang memberi perintah maupun yang melaksanakan perintah, dalam kejadian ini, korporasi dapat juga dijadikan tersangka sesuai dalam Pasal 45 dan Pasal 46 UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan didalam RUU KUHP Paragraf  7 tentang Korporasi yang dimulai dari pasal 44-49.