Dibebaskannya Adelin Lis bagi kita yang selama ini mengamati
dan pernah melakukan studi mengenai pencurian kayu, sebenarnya dalam kontek
tradisi pengadilan pencuri kayu, Adelin Lis ini hanya “karikatur” yang muncul
sekarang. Sementara selama ini banyak pencuri kayu yang dibebaskan juga.
Demikian disampaikan oleh Direktur Sekretariat Kerjasama
Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI), Ir. S. Indro Tjahyono, dalam suatu dialog
bertema “Hutan Kau Babat, Kau Ku Bebaskan”, yang diadakan di Mario’s Place
Menteng Huis, pada Sabtu (10/11).
Menurutnya, makna karikatur ini menunjukkan bahwa
pencuri-pencuri kayu ini mempunyai kekebalan hukum (impunity) untuk dituntut.
Ini karena hukum yang ada tidak berusaha untuk menjaring pencuri-pencuri kayu
ini sehingga bisa dituntut dan dijebloskan ke penjara.
"Ada sesuatu yang saya katakan bahwa inilah “karikatur”
dari satu kejahatan korporasi (corporate crime). Jadi mereka mengikutkan juga
elemen politik (orang-orang politik), elemen kekuatan senjata (TNI – Polri),
elemen lembaga peradilan. Jadi ada mafia peradilan yang sebenarnya bersekongkol
untuk mempertahankan pencurian-pencurian kayu, karena dia memang instrumen dari
pencuri kayu itu sendiri," ujarnya.
Ia kemudian memberikan contoh kasus pencurian kayu jati di
Jawa seperti yang terjadi di Blora, Blitar, atau di Caruban yang menunjukkan
bahwa mafia pencuri kayu jati itu bahkan punya jaringan sampai pengadilan. Jadi
promosi hakim, promosi jaksa di pengadilan negeri itu dikuasai mereka. Sehingga
jaksa yang berusaha menuntut berat pencuri kayu itu bisa dipindah.
Dalam kaitannya dengan kasus bebasnya Adelin Lis ini,
Tjahyono ingin membuktikan pernyataannya bahwa memang mafia peradilan ini lebih
memihak pencuri kayu. Di antaranya begitu Adelin Lis dibebaskan, hakim yang
membebaskan Adelin Lis langsung naik pangkat.
"Bahkan kenaikan pangkat itu kelihatannya merupakan
rekayasa birokrasi, karena selain dinaikkan pangkatnya, salah satu hakim juga
langsung dipindahkan ke Bengkulu. Ini dilakukan untuk membuat hakimnya jadi
buyar," katanya.
Dengan demikian menurutnya, pengadilan sudah dikuasai oleh
pencuri kayu itu, karena mereka mesti bagi-bagi ke semua. Begitu pun banyak
pejabat di sana yang ditentukan oleh Adelin Lis.
Ia juga menjelaskan bahwa berdasarkan studi yang dilakukan
oleh lembaganya mengenai kasus-kasus pencurian kayu, yang masuk ke pengadilan
hingga ke penuntutan itu hanya 0,1 persen. Kalau penyidikan memang banyak,
sampai 25 persen yang masuk, tapi ketika penuntutan hanya ada 0,1 persen dan
hasilnya bebas.
"Inikan quo-vadis dari lembaga peradilan kita, dan saya
akan kembali bahwa masalahnya bukan dihukumnya itu sendiri. Masalahnya adalah
hukum sebagai instrumen untuk mengatur sesuatu, tetapi mengatur apa,"
tegasnya setengah bertanya.
Dari sinilah dapat dijumpai ada tidaknya faktor kemauan
politik (political will). Baik dari pemerintah atau masyarakat, untuk
memberantas pencuri kayu dan menciptakan hukum yang memang bisa menangkal
berbagai pencurian kayu.
Hukum di negeri ini sedang dicoba diciptakan untuk
membiarkan pencuri kayu antara lain dengan adanya dikotomi antara sanksi
administratif dan sanksi hukum. Padahal sanksi administratif itu mempunyai
keterbatasan, yakni ketika tindakan dari anggota lembaga apa pun telah
membahayakan publik, maka ini adalah urusan hukum pidana. Ini harus ada
batasannya.
"Kalau itu didiamkan dan DPR tidak mencoba memberi
perbedaan yang jelas antara sanksi administrasi dan sanksi hukum, yang terjadi
ya seperti sekarang ini," katanya.
Sementara itu Departemen Kehutanan merasa bahwa semua
pelanggaran HPH itu adalah sanksi administratif, dia bisa didenda, padahal
bisnis denda di Departemen Kehutanan itu sudah sangat jorok. Bahkan
diindikasikan sebagai alat memeras secara diam-diam pada para pencuri kayu.
Prolog
Kejahatan yang terjadi pada kasus sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah
suatu kejahatan yang tidak berhenti ketika pelaku berhasil di jebloskan ke
dalam penjara atau memberikan ganti kerugian. Kejahatan ini akan menimbulkan
dampak yang akumulatif dan cenderung melahirkan suatu bentuk kejahatan baru.
Destructive logging/perusakan hutan adalah contoh konkret yang selanjutnya
dapat melahirkan rentetan bencana berupa banjir, longsor, kekeringan, gagal
panen, gagal tanam dan kebakaran hutan. Bahkan dampak dari destructive logging
dapat menimbulkan hilangnya nyawa dan harta benda bagi mereka yang tertimpa
bencana ikutan tersebut.
Berikutnya ketidak sigapan negara dalam menanggulangi bencana akan melahirkan
pelanggaran terhadap hak-hak penggungsi (akibat tersingkir dari tempat
hidupnya) yang di nyatakan secara tegas dalam berbagai perjanjian atau
kesepakatan internasional termasuk covenant on economic social and political
right. Inilah yang WALHI sebutkan sebagai kejahatan yang dapat melahirkan
akumulasi dampak dan kejahatan lainnya. Lingkup kejahatan terhadap sumber daya
alam dan lingkungan hidup sangatlah luas. Antara lain terdapat pada sektor kehutanan,
perikanan dan kelautan, pertambangan mineral dan sumber-sumber energi fosil
serta sumberdaya air. Dimana sector tersebut adalah sektor yang paling sering
dikelola secara destructive. Melihat polanya maka dalam pandangan diatas,
kejahatan ini bukanlah suatu peristiwa yang berdiri sendiri. Kesalahan dalam
pengurusan yang telah berlangsung lama menjadi salah faktor utama pendorong
terjadinya kejahatan tersebut termasuk regulasi yang mengaturnya. Belum lagi
lemahnya penegakan hukum yang berimplikasi pada semakin tingginya tingkat
kejahatan tersebut. Parahnya, (oknum) aparat penegak hukum juga menjadi bagian
dari praktek/modus bagaimana kejahatan ini berlangsung dan dilakukan terus
menerus.
Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena
itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitasaktivitas pegawai
atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga
disebut sebagai “kejahatan kerah putih”. Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat
John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct of a
corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is
proscribed and punishable by law“ (melakukan suatu korporasi, atau karyawan
yang bertindak atas nama sebuah perusahaan, yang dilarang dan dikenai sanksi
hukum). Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite
mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan
agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosioekonomi bawah dalam
hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi
tidak hanya tindakan kejahatan atas hokum pidana, tetapi juga pelanggaran atas
hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai “subyek hukum
perorangan “legal persons“) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan
(as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara
lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.
Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk
keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian
keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang
pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Di Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan
kejahatan korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan
Hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi pasal 46 yang mengadopsi doktrin
vicarious liability. Meskipun tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP
Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3
bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi
yang sudah ada, yaitu :
1.
Dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan
2 UU No.38/2004 tentang Jalan.
2.
Dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan
perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak
pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat
3.
UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31/2004
tentang Perikanan
4.
Kemudian kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus
korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada
koorporasi, contohnya seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999 tentang
Tindak Pidana Korupsi.
kejahatan korporasi adalah merupakan pelanggaran atau tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi, yang tentunya berkaitan dengan hubungan keperdataan,
artinya hubungan yang menimbulkan tindak pidana tersebut adalah perbuatan
perdata.
Sanksi dapat dijatuhkan kepada perorangan yaitu setiap orang
yang memberi perintah maupun yang melaksanakan perintah, dalam kejadian ini,
korporasi dapat juga dijadikan tersangka sesuai dalam Pasal 45 dan Pasal 46 UU
No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan didalam RUU KUHP Paragraf
7 tentang Korporasi yang dimulai dari pasal 44-49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar