Pelanggaran Etika
Bisnis di Era Globalisasi
Etika Bisnis
Etika
didefinisikan sebagai penyelidikan terhadap alam dan ranah moralitas dimana
istilah moralitas dimaksudkan untuk merujuk pada ‘penghakiman’ akan standar dan
aturan tata laku moral. Etika juga bisa disebut sebagai studi filosofi perilaku
manusia dengan penekanan pada penentuan apa yang dianggap salah dan benar. Tentu
sebagian kita akan setuju bila standar etika yang tinggi membutuhkan individu
yang punya prinsip moral yang kokoh dalam melaksanakannya. Namun, beberapa
aspek khusus harus dipertimbangkan saat menerapkan prinsip etika ke dalam
bisnis.
Pertama, untuk
bisa bertahan, sebuah bisnis harus mendapatkan keuntungan. Jika keuntungan
dicapai melalui perbuatan yang kurang terpuji, keberlangsungan perusahaan bisa
terancam. Banyak perusahaan terkenal telah mencoreng reputasi mereka sendiri
dengan skandal dan kebohongan. Kedua, sebuah bisnis harus dapat
menciptakan keseimbangan antara ambisi untuk mendapatkan laba dan kebutuhan serta
tuntutan masyarakat sekitarnya. Memelihara keseimbangan seperti ini sering
membutuhkan kompromi atau bahkan ‘barter’.
Tujuan etika
bisnis adalah menggugah kesadaran moral para pelaku bisnis dalam menjalankan
good business dan tidak melakukan ‘monkey business’ atau dirty business. Etika
bisnis mengajak para pelaku bisnis mewujudkan citra dan manajemen bisnis yang
etis agar bisnis itu pantas dimasuki oleh semua orang yang mempercayai adanya
dimensi etis dalam dunia bisnis. Hal ini sekaligus menghalau citra buruk dunia
bisnis sebagai kegiatan yang kotor, licik, dan tipu muslihat. Kegiatan bisnis
mempunyai implikasi etis dan oleh karenanya membawa serta tanggung jawab etis
bagi pelakunya.
Berbisnis
dengan etika adalah menerapkan aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis.
Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban,
prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai etika
mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan beretika, maka
setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya, pelanggan,
kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak
etis dan tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita mengontrol diri kita
sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan
toleransi. Dengan kata lain, etika bisnis ada untuk mengontrol bisnis agar
tidak tamak.
Pelanggaran
etika bisa terjadi di mana saja, termasuk dalam dunia bisnis. Untuk meraih
keuntungan, masih banyak perusahaan yang melakukan berbagai pelanggaran moral.
Praktik curang ini bukan hanya merugikan perusahaan lain, melainkan juga
masyarakat dan negara. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tumbuh subur
di banyak perusahaan.
Dari mana
upaya penegakkan etika bisnis dimulai? Etika bisnis paling gampang diterapkan
di perusahaan sendiri. Pemimpin perusahaan memulai langkah ini karena mereka
menjadi panutan bagi karyawannya. Selain itu, etika bisnis harus dilaksanakan
secara transparan. Pemimpin perusahaan seyogyanya bisa memisahkan perusahaan
dengan milik sendiri. Dalam operasinya, perusahaan mengikuti aturan berdagang
yang diatur oleh tata cara undang-undang.
Etika bisnis
tidak akan dilanggar jika ada aturan dan sanksi. Kalau semua tingkah laku salah
dibiarkan, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Repotnya, norma yang salah ini
akan menjadi budaya. Oleh karena itu bila ada yang melanggar aturan diberikan
sanksi untuk memberi pelajaran kepada yang bersangkutan. Ada tiga sasaran dan
ruang lingkup pokok etika bisnis. Pertama, etika bisnis sebagai etika profesi
membahas berbagai prinsip, kondisi, dan masalah yang terkait dengan praktek
bisnis yang baik dan etis. Dengan kata lain, etika bisnis pertama-tama
bertujuan untuk menghimbau para pelaku bisnis untuk menjalankan bisnis secara
baik dan etis.
Kedua,
menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh, atau karyawan dan
masyarakatluas pemilik aset umum semacam lingkungan hidup, akan hak dan
kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktik bisnis siapapun
juga. Pada tingkat ini, etika bisnis berfungsi menggugah masyarakat bertindak
menuntut para pelaku bisnis untuk berbisnis secara baik demi terjaminnya hak
dan kepentingan masyarakat tersebut.
Ketiga, etika
bisnis juga berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat menentukan etis
tidaknya suatu praktek bisnis. Dalam hal ini, etika bisnis lebih bersifat makro
atau lebih tepat disebut etika ekonomi. Dalam lingkup makro semacam ini, etika
bisnis bicara soal monopoli, oligopoli, kolusi, dan praktik semacamnya yang
akan sangat mempengaruhi, tidak saja sehat tidaknya suatu ekonomi, melainkan
juga baik tidaknya praktik bisnis dalam sebuah negara.
Berikut contoh kasus kecurangan yang
terjadi dalam bisnis.
Perjalanan
swastanisasi air Jakarta tahun ini telah memasuki masa 16 tahun, kini tiba
saatnya Jakarta menentukan masa depan pengelolaan dan pemenuhan kebutuhan air
bagi warganya. Jakarta harus secara tegas menentukan apakah air dan pengelolaan
air Jakarta akan terus diserahkan kepada pihak swasta yang terbukti gagal
memenuhi janji memberikan akses air yang baik dan layak pada warga. Pemerintah
Provinsi Jakarta, tidak lagi bisa menyerahkan nasib warganya pada mekanisme-mekanisme
formal yang belum tentu menjamin pengelolaan air kembali pada domain publik.
Seperti
diketahui, pelibatan swasta dalam pengelolaan air Jakarta semakin menunjukkan
bahwa air hanya menjadi ajang mengeruk keuntungan ekonomis daripada pemenuhan
hak asasi warga atas air. Hak atas air yang seharusnya dijamin oleh Negara,
justru dikesampingkan dan hanya memfasilitasi pihak swasta memaksimalkan
keuntungan melalui sekian perjanjian “kotor”. Konsep “full cost recovery” diadopsikan
dalam kontrak kerja sama pengelolaan air dengan membentuk term “water charge”
yang harus disesuaikan (dinaikkan) setiap 6 bulan. Perhitungan “water
charge” telah membebani, tidak saja masyarakat pengguna jasa layanan air,
tetapi juga Pemprov Jakarta (PAM Jaya) yang harus menanggung beban jika terjadi
selisih kekurangan (short fall) antara yang dibayarkan oleh pelanggan (water
tariff) dengan imbalan bagi swasta (water charge).
Penyesuaian
tarif yang dianggarkan, kini telah membuat warga harus membayar hingga Rp.
7.800/m3 untuk wilayah Jakarta yang dikuasai oleh Palyja, dan biaya sebesar Rp.
6.800/m3 untuk wilayah kerja Aetra. Tarif ini jauh diatas rata-rata tarif air
misalnya Surabaya, yang hanya sebesar Rp 2.600 dan Bekasi yang mengenakan
tariff Rp 2.300 kepada pelanggannya. Tarif sebesar itupun telah membuat PAM
Jaya berhutang kepada swasta sebesar Rp 610 miliar pada Oktober 2011, dan
diproyeksikan akan mencapai Rp 18,2 triliun pada masa berakhirnya kontrak,
tahun 2022.
Hal disebabkan
keuntungan yang diminta pihak swasta mencapai laba hingga sebesar 22%, jauh di
atas Peraturan Menteri Dalam Negeri yang hanya membolehkan keuntungan wajar
perusahaan air minum sebesar 10 persen. Selain itu ada indikasi bahwa swasta
telah melakukan kecurangan dengan membebankan biaya-biaya yang tidak seharusnya
dibebankan dalam penentuan harga air swasta. Biaya Sekolah Anak,
Keperluan Rumah Tangga, Klaim Biaya-biaya Fiskal & Pajak Bandara
untuk Perjalanan Pribadi, Biaya Perjalanan, Biaya Sewa rumah dan Asuransi
Banjir. Seluruh kecurangan tersebut ditanggungkan kepada pelanggan dan
Pam Jaya. Menurut rekomendasi audit BPKP (2009), jika seluruh kecurangan swasta
bisa dihilangkan, sesungguhnya akan membuat tarif turun menjadi Rp 4.662/m3
untuk Palyja, dan Rp. 3831/m3 untuk Aetra.
Mahalnya biaya
air Jakarta, ternyata juga tidak ditunjang dengan perbaikan kualitas layanan
air. Swasta telah terbukti tidak mampu memenuhi target cakupan pelayanan. Dari
seluruh warga yang tinggal di Jakarta, hanya 36% saja yang telah dilayani
sambungan pipa air bersih. Tingkat kebocoran air yang dikelola Aetra dan Palyja
juga terus meningkat, yakni mencapai masing-masing 42 persen dan 39 persen,
angka tersebut jauh di atas kebocoran rata-rata nasional sebesar 33 persen
(BPPSPAM, 21/3/2013). Persoalan lain adalah, karyawan PAM Jaya yang diperbantukan
untuk kedua kontraktor swasta yang mencapai lebih dari 1.500 orang, merasa
bahwa dengan kontribusi yang demikian besar, tetapi tidak mendapatkan
kompensasi yang adil.
Menilik sekian
persoalan yang mengemuka dari swastanisasi air Jakarta, KMMSAJ tidak
bosan-bosan meminta kepada Pemprov untuk dengan tegas, segera mengakhiri
kontrak kerja sama dengan pihak swasta. Kami juga meminta bahwa, pemutusan
kontrak harus dilakukan dengan tegas dan berani, tidak dengan cara-cara seperti
membeli saham, seperti yang selama ini diwacanakan. Karena hal itu justru akan
memberikan preseden buruk bagi Pemprov sendiri. KMMSAJ, bersama dengan
serikat-serikat kerja PAM Jaya, juga menilai bahwa pengelolaan air Jakarta
dapat ditangani dengan lebih baik dan profesional oleh pihak PAM Jaya sendiri.
Sumber: