Sabtu, 19 Oktober 2013

PELANGGARAN ETIKA BISNIS DI ERA GLOBALISASI



Pelanggaran Etika Bisnis di Era Globalisasi
Etika Bisnis
Etika didefinisikan sebagai penyelidikan terhadap alam dan ranah moralitas dimana istilah moralitas dimaksudkan untuk merujuk pada ‘penghakiman’ akan standar dan aturan tata laku moral. Etika juga bisa disebut sebagai studi filosofi perilaku manusia dengan penekanan pada penentuan apa yang dianggap salah dan benar. Tentu sebagian kita akan setuju bila standar etika yang tinggi membutuhkan individu yang punya prinsip moral yang kokoh dalam melaksanakannya. Namun, beberapa aspek khusus harus dipertimbangkan saat menerapkan prinsip etika ke dalam bisnis.
Pertama, untuk bisa bertahan, sebuah bisnis harus mendapatkan keuntungan. Jika keuntungan dicapai melalui perbuatan yang kurang terpuji, keberlangsungan perusahaan bisa terancam. Banyak perusahaan terkenal telah mencoreng reputasi mereka sendiri dengan skandal dan kebohongan.  Kedua, sebuah bisnis harus dapat menciptakan keseimbangan antara ambisi untuk mendapatkan laba dan kebutuhan serta tuntutan masyarakat sekitarnya. Memelihara keseimbangan seperti ini sering membutuhkan kompromi atau bahkan ‘barter’.
Tujuan etika bisnis adalah menggugah kesadaran moral para pelaku bisnis dalam menjalankan good business dan tidak melakukan ‘monkey business’ atau dirty business. Etika bisnis mengajak para pelaku bisnis mewujudkan citra dan manajemen bisnis yang etis agar bisnis itu pantas dimasuki oleh semua orang yang mempercayai adanya dimensi etis dalam dunia bisnis. Hal ini sekaligus menghalau citra buruk dunia bisnis sebagai kegiatan yang kotor, licik, dan tipu muslihat. Kegiatan bisnis mempunyai implikasi etis dan oleh karenanya membawa serta tanggung jawab etis bagi pelakunya.
Berbisnis dengan etika adalah menerapkan aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita mengontrol diri kita sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan toleransi. Dengan kata lain, etika bisnis ada untuk mengontrol bisnis agar tidak tamak.
Pelanggaran etika bisa terjadi di mana saja, termasuk dalam dunia bisnis. Untuk meraih keuntungan, masih banyak perusahaan yang melakukan berbagai pelanggaran moral. Praktik curang ini bukan hanya merugikan perusahaan lain, melainkan juga masyarakat dan negara. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tumbuh subur di banyak perusahaan.
Dari mana upaya penegakkan etika bisnis dimulai? Etika bisnis paling gampang diterapkan di perusahaan sendiri. Pemimpin perusahaan memulai langkah ini karena mereka menjadi panutan bagi karyawannya. Selain itu, etika bisnis harus dilaksanakan secara transparan. Pemimpin perusahaan seyogyanya bisa memisahkan perusahaan dengan milik sendiri. Dalam operasinya, perusahaan mengikuti aturan berdagang yang diatur oleh tata cara undang-undang.
Etika bisnis tidak akan dilanggar jika ada aturan dan sanksi. Kalau semua tingkah laku salah dibiarkan, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Repotnya, norma yang salah ini akan menjadi budaya. Oleh karena itu bila ada yang melanggar aturan diberikan sanksi untuk memberi pelajaran kepada yang bersangkutan. Ada tiga sasaran dan ruang lingkup pokok etika bisnis. Pertama, etika bisnis sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi, dan masalah yang terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Dengan kata lain, etika bisnis pertama-tama bertujuan untuk menghimbau para pelaku bisnis untuk menjalankan bisnis secara baik dan etis.
Kedua, menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh, atau karyawan dan masyarakatluas pemilik aset umum semacam lingkungan hidup, akan hak dan kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktik bisnis siapapun juga. Pada tingkat ini, etika bisnis berfungsi menggugah masyarakat bertindak menuntut para pelaku bisnis untuk berbisnis secara baik demi terjaminnya hak dan kepentingan masyarakat tersebut.
Ketiga, etika bisnis juga berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Dalam hal ini, etika bisnis lebih bersifat makro atau lebih tepat disebut etika ekonomi. Dalam lingkup makro semacam ini, etika bisnis bicara soal monopoli, oligopoli, kolusi, dan praktik semacamnya yang akan sangat mempengaruhi, tidak saja sehat tidaknya suatu ekonomi, melainkan juga baik tidaknya praktik bisnis dalam sebuah negara.

Berikut contoh kasus kecurangan yang terjadi dalam bisnis.
Perjalanan swastanisasi air Jakarta tahun ini telah memasuki masa 16 tahun, kini tiba saatnya Jakarta menentukan masa depan pengelolaan dan pemenuhan kebutuhan air bagi warganya. Jakarta harus secara tegas menentukan apakah air dan pengelolaan air Jakarta akan terus diserahkan kepada pihak swasta yang terbukti gagal memenuhi janji memberikan akses air yang baik dan layak pada warga. Pemerintah Provinsi Jakarta, tidak lagi bisa menyerahkan nasib warganya pada mekanisme-mekanisme formal yang belum tentu menjamin pengelolaan air kembali pada domain publik.
Seperti diketahui, pelibatan swasta dalam pengelolaan air Jakarta semakin menunjukkan bahwa air hanya menjadi ajang mengeruk keuntungan ekonomis daripada pemenuhan hak asasi warga atas air. Hak atas air yang seharusnya dijamin oleh Negara, justru dikesampingkan dan hanya memfasilitasi pihak swasta memaksimalkan keuntungan melalui sekian perjanjian “kotor”. Konsep “full cost recovery” diadopsikan dalam kontrak kerja sama pengelolaan air dengan membentuk term “water charge” yang harus disesuaikan (dinaikkan) setiap 6 bulan. Perhitungan “water charge” telah membebani, tidak saja masyarakat pengguna jasa layanan air, tetapi juga Pemprov Jakarta (PAM Jaya) yang harus menanggung beban jika terjadi selisih kekurangan (short fall) antara yang dibayarkan oleh pelanggan (water tariff) dengan imbalan bagi swasta (water charge).
Penyesuaian tarif yang dianggarkan, kini telah membuat warga harus membayar hingga Rp. 7.800/m3 untuk wilayah Jakarta yang dikuasai oleh Palyja, dan biaya sebesar Rp. 6.800/m3 untuk wilayah kerja Aetra. Tarif ini jauh diatas rata-rata tarif air misalnya Surabaya, yang hanya sebesar Rp 2.600 dan Bekasi yang mengenakan tariff Rp 2.300 kepada pelanggannya. Tarif sebesar itupun telah membuat PAM Jaya berhutang kepada swasta sebesar Rp 610 miliar pada Oktober 2011, dan diproyeksikan akan mencapai Rp 18,2 triliun pada masa berakhirnya kontrak, tahun 2022.
Hal disebabkan keuntungan yang diminta pihak swasta mencapai laba hingga sebesar 22%, jauh di atas Peraturan Menteri Dalam Negeri yang hanya membolehkan keuntungan wajar perusahaan air minum sebesar 10 persen. Selain itu ada indikasi bahwa swasta telah melakukan kecurangan dengan membebankan biaya-biaya yang tidak seharusnya dibebankan dalam penentuan harga air swasta. Biaya Sekolah Anak,  Keperluan Rumah Tangga, Klaim Biaya-biaya Fiskal & Pajak Bandara untuk Perjalanan Pribadi, Biaya Perjalanan, Biaya Sewa rumah dan Asuransi Banjir. Seluruh kecurangan tersebut ditanggungkan  kepada pelanggan dan Pam Jaya. Menurut rekomendasi audit BPKP (2009), jika seluruh kecurangan swasta bisa dihilangkan, sesungguhnya akan membuat tarif turun menjadi Rp 4.662/m3 untuk Palyja, dan Rp. 3831/m3 untuk Aetra.
Mahalnya biaya air Jakarta, ternyata juga tidak ditunjang dengan perbaikan kualitas layanan air. Swasta telah terbukti tidak mampu memenuhi target cakupan pelayanan. Dari seluruh warga yang tinggal di Jakarta, hanya 36% saja yang telah dilayani sambungan pipa air bersih. Tingkat kebocoran air yang dikelola Aetra dan Palyja juga terus meningkat, yakni mencapai masing-masing 42 persen dan 39 persen, angka tersebut jauh di atas kebocoran rata-rata nasional sebesar 33 persen (BPPSPAM, 21/3/2013). Persoalan lain adalah, karyawan PAM Jaya yang diperbantukan untuk kedua kontraktor swasta yang mencapai lebih dari 1.500 orang, merasa bahwa dengan kontribusi yang demikian besar, tetapi tidak mendapatkan kompensasi yang adil.
Menilik sekian persoalan yang mengemuka dari swastanisasi air Jakarta, KMMSAJ tidak bosan-bosan meminta kepada Pemprov untuk dengan tegas, segera mengakhiri kontrak kerja sama dengan pihak swasta. Kami juga meminta bahwa, pemutusan kontrak harus dilakukan dengan tegas dan berani, tidak dengan cara-cara seperti membeli saham, seperti yang selama ini diwacanakan. Karena hal itu justru akan memberikan preseden buruk bagi Pemprov sendiri. KMMSAJ, bersama dengan serikat-serikat kerja PAM Jaya, juga menilai bahwa pengelolaan air Jakarta dapat ditangani dengan lebih baik dan profesional oleh pihak PAM Jaya sendiri.
Sumber: